Oleh: Dr. Agus Zaenul Fitri, M.Pd
Abstrack
Education is only creating intellectual ability without awaking the conscience of human beings will produce a brittle and hollow soul for the challenges of real life. Education is expected a “soul” who develop the values of wisdom, and directs the intellectual / academic, or Intelligence Quotient (IQ), emotional intelligence or Emotional Quotient (IQ), and spiritual intelligence or Spiritual Quetient (SQ). EQ and SQ was instrumental in the success of a person in the fight of his life. Wisdom to control your emotions it will support the workings of reason and intellectual. EQ will build motivation, empathy, the ability to understand ourselves and others, sympathetic nature, solidarity, and social intraksi high. While the SQ will guide a clear conscience that leads to al exhaustively al matmainah, dare to face life with optimism, creative, flexible, and visionary, and moral strength, to provide certainty for answers about something good and the bad, and responsible life and environment. All of them will realize the ability to change obstacles into opportunities and resilience in facing life’s challenges. This is known as the Adversity Quetient (AQ).
Kata Kunci: Efektivitas, Standar, Penilaian, Konstruktivistik
A. Pendahuluan
Menyimak problematik menyangkut pendidikan nasional khususnya ujian nasional tampaknya seperti tanpa berujung pangkal. Dalam mencari solusi jangka panjang seyogyanya dikembalikan kepada konstitusi dan perundangan yang berlaku. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Pasal 31 Ayat 3 mengarahkan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia.
Agar tujuan dan sasaran lebih jelas, maka UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan antara lain pendidikan nasional ditujukan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual keamanan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, kecerdasan, dan keterampilan. Apa yang digariskan tersebut di atas sangat jelas bahwa pendidikan bukan hanya menjadikan peserta didik pandai dari segi akademik, tetapi untuk menjadikan manusia yang utuh yang mampu menjadi manusia yang mengabdi kepada Sang Maha Pencipta, menjadi manusia demi manusia yang lain dan alam semesta.
Pendidikan yang hanya menciptakan kemampuan intelektual tanpa membangkitkan hati nurani akan menghasilkan manusia yang rapuh dan jiwa yang hampa dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata. Pendidikan yang diharapkan harus memiliki “ruh” yang mengembangkan nilai-nilai bijak, dan mengarahkan pada kecerdasan intelektual/akademik atau Intelegence Quotient (IQ), kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (IQ), dan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quetient (SQ).
EQ dan SQ sangat berperan dalam menunjang keberhasilan seseorang dalam perjuangan hidupnya. Kearifan untuk mengendalikan emosi justru akan menunjang bekerjanya nalar dan intelektual. EQ akan membangun motivasi, empati, kemampuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, sifat simpatik, solidaritas, dan intraksi sosial yang tinggi. Sementara SQ akan membimbing suara hati yang jernih yang mengarahkan kepada al napsu al matmainah, berani menghadapi hidup dengan optimisme, kreatif, fleksibel, dan visioner, serta memberikan kekuatan moral, memberikan kepastian jawaban tentang sesuatu yang baik dan yang buruk, dan bertanggung jawab hidup dan lingkungannya. Kesemuanya itu akan mewujudkan kemampuan mengubah hambatan menjadi peluang dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup. Hal itu dikenal dengan istilah Adversity Quetient (AQ).
Selanjutnya memperhatikan pernyataan-pernyataan sekitar ujian nasional (UN), ada beberapa yang bisa dicatat, antara lain: adanya keyakinan bahwa UN dapat mendorong kualitas etos belajar; UN akan memaksa belajar keras dan menumbuhkan etos kerja keras; juga pernyataan bahwa anak yang tidak lulus UN sebagai anak malas. Pernyataan-pernyataan itu diragukan kebenarannya, karena terlalu berlebihan dalam memosisikan UN, seolah tujuan pendidikan hanya untuk lulus UN.
Padahal sudah jelas, tujuan pendidikan seperti yang telah disebutkan bukan hanya lulus UN walaupun mungkin ada manfaatnya tetapi tidak menentukan segalanya. UN hanya salah satu parameter untuk melihat hasil pendidikan khususnya hanya dari segi akademik, terlebih lagi yang diujikan hanya tiga mata ajaran. Adanya siswa yang menjadi juara olimpiade (internasional) tetapi tidak lulus UN, dapat mengindikasikan bahwa UN tidak dapat menjadi ukuran yang akurat tentang pintar dan kualitas belajar siswa. Oleh karena itu, dalam meningkatkan kualitas bangsa melalui pendidikan, perlu memerhatikan unsur-unsur lain, karena masih banyak unsur yang lebih penting untuk membangun karakter unggul bangsa seperti yang dituntut oleh UUD 1945 dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional. Proses mencapai tujuan pendidikan tidak bisa dilakukan secara mendadak dan hanya ditentukan dalam waktu dua jam.
Pandangan yang menyatakan UN menjadi tolok ukur hasil pendidikan, berarti menjadi UN sebagai tujuan dan sasaran utama. Akibatnya seperti yang dapat dilihat, antara lain terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan ujian baik oleh siswa maupun guru, misalnya membentuk “tim sukses”‘ menggunakan jockey, dan sebagainya. Selain itu, pendidikan yang terlalu membesar-besarkan masalah akademik semata tanpa membangun kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dapat dilihat antara lain pada sementara siswa yang gagal UN melakukan tindakan tercela seperti melukai guru, membakar sekolahnya, bunuh diri, dan sebagainya. Mereka tidak bisa memahami dirinya apalagi memahami sifat-sifat Tuhan-nya.
Kecurangan atau tindakan-tindakannya itu mencerminkan kosongnya jiwa, keringnya spiritualitas, dan tidak berfungsinya suara hati. Saatnyalah kini membangun dan menggalakkan apa yang disebut emotional-spiritual quotient (ESQ). Hal itu akan membangun otak kiri dan otak kanan sekaligus. Pelaksanaan UN dan materi yang diujikan, tampak tidak sinkron dengan amanat konstitusi dan perundangan menyangkut pendidikan nasional, karena hanya memerhatikan kecerdasan intelegensia. Kemampuan intelektual saja jelas tidak menjamin kualitas dan keberhasilan manusia, dan kurang ada kaitannya dengan etos kerja keras.
UN telah mengabaikan proses pendidikan dan materi ajaran yang diberikan selama tiga tahun. Ironisnya, siswa yang berprestasi belajarnya baik dari kelas X-XII dan sudah mendapat tawaran masuk perguruan tinggi tanpa tes, namun ketika siswa tersebut tidak lulus UN, maka juga tidak jadi diterima di perguruan tinggi tersebut. Itu mengindikasikan bahwa UN menjadi segala-galanya, dan mengabaikan prestasi di sekolah selama 3 tahun.
B. IMPLEMENTASI STANDARISASI PENILAIAN BAGI MADRASAH
Agar standar kompetensi lulusan dapat diimplementasikan di Madrasah, maka perlu dilakukan usaha yang secara menyeluruh dan konsisten. Mengingat persoalan madrasah saat ini sangat komplek, mulai dari persoalan mutu sampai kepada persoalan sarana dan prasarana. Mengingat madrasah di Indonesia kebanyakan merupakan suatu bentuk swadaya dari masyarakat dan bentuk pengabdian kepada Negara, maka keberadaan madrasah di tengah-tengah dunia pendidikan menjadi sangat penting.
Madrasah merupakan representasi dari sebuah model pendidikan Islam di Indonesia, sebab itu madrasah memiliki “misi” yang secara implisit sesungguhnya ia mengemban “amanah” besar yang diembeli oleh kata Islam, yang perwujudannya, bagaimanapun akan merefleksikan dari citra Islam itu sendiri. Sementara secara empirik, tampaknya madrasah “jarang” yang mewakili atau merepresentasikan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam, namun lebih banyak diwarnai oleh ciri khas keorganisasian. Oleh sebab itu lahirlah apa yang disebut dengan Madrasah Muhammadiyah, madrasah NU, al-Irsyad, Persis. dan sebagainya (Malik Fadjar,1991), akibatnya, Madrasah dipilih karena didorong rasa memiliki yang tinggi terhadap organisasi bukan karena pelayanan pendidikannya. Disamping itu, sistem pendidikan yang dilakukan bukan mencerminkan sistem pendidikan yang ideal yang mampu mengantarkan anak didiknya menuju kesiapan masa depannya yang lebih cerah, maka dalam pada itu sekarang ini diperlukan reorientasi sistem pendidikan madrasah menuju pendidikan ideal tersebut.
Jika standarisasi penilaian sudah diterapkan pada pendidikan di madrasah, hal ini tentu di adil dan fair, karena di satu sisi madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan yang berusaha untuk menampung orang-orang yang tidak mampu untuk masuk ke lembaga pendidikan umum, di sisi lain madrasah dituntut untuk mencapai standar sebagaimana yang ditetapkan pada pendidikan umum. Agar madrasah mampu bersaing dengan pendidikan lain dan standar penilaian menjadi efektif, maka pemerintah harus: pertama, menetapkan standar pembiayaan, kedua, standar sarana prasarana, ketiga, standar pengelolaan, keempat, , Standar tenaga kependidikan, kelima, standar isi, keenam, standar proses, ketujuh, standar kompetensi lulusan, kedelapan, penilaian.
Jika standarisasi dilakukan dengan tahapan-tahapan seperti di atas, maka standarisasi yang selama ini banyak ditentang oleh masyarakat, justru akan mendapat dukungan dari masyarakat. Penerapan standarisasi kompetensi lulusan dan penilaian banyak menimbulkan masalah. Ini disebabkan karena pemerintah hanya ingin mengukur kompetensi siswa tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lain, seperti sarana prasarana, kompetensi pendidik, pembiayaan, proses pendidikan dan pengelolaan. Maka dari itu, hasil UAN sangat jauh dari memuaskan, apalagi dibuktikan dengan berbagai macam praktek kecurangan. Padahal dalam prinsip penilaian yang dijelaskan dalam Permendiknas no. 20 tahun 2007 bahwa penilaian di dasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
- Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
- Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
- Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
- Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
- Menyeluruh dan Berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
- Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
- Beracuan Kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
- Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
Realitas di lapangan hal itu tidak dilakukan, karena pemerintah melakukan jalan pintas dengan melakukan penilaian dan mengenyampingkan aspek heterogenitas masyarakat Indonesia, yang sebagian besar mereka berada di pulau-pulau yang akses pendidika sangat sulit ditempuh.
Dengan konsep tersebut, diharapkan pemerintah nantinya akan lebih memperhatikan proses pendidikan, khususnya pendidikan Madrasah. Karena Madrasah tidak bisa dipisahkan dari sejarah pendidikan Nasional Indonesia.
C. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI.
Situasi dan kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini dalam taraf perbaikan. Karena, pemerintah saat ini banyak berpihak dalam masalah-masalah pendidikan. misalnya, dengan adanya berbagai macam pembaharuan pada pendidikan kita, misalnya melalui upaya standarisasi. Akan tetapi Standarisasi sedang menjadi sorotan dan sekaligus kritik yang tajam dari masyarakat. Misalnya tentang kebijakan standarisasi yang bertentangan dengan KTSP. Di samping itu juga standarisasi juga agak mengenyampingkan aspek kondisi sosio-kultul masyarakat. Kesenjangan sekolah antara sekolah di wilayah satu dengan yang lain menjadi faktor urgen yang dikesampingkan oleh pemerintah. Padahal sebetulnya aspek ini yang menjadi kunci keberhasilkan standarisasi yang saat ini dilakukan oleh pemerintah.
Persoalan krusialnya kemudian adalah, perlukah melakukan penilaian kuantitatif hasil didik? Untuk tujuan apa saja penilaian hasil didik dilakukan?. Bagaimana kita hendaknya mengidentifikasi dan menilai (meng-assess) mutu hasil didik. Parameter apa yang layak untuk menilai hasil didik. Segi-segi apa saja yang harus dinilai. Dan siapa yang paling berwenang (otoritatif) untuk menilai hasil didik.
Kita dapat dengan mudah mengidentifikasi sekolah-sekolah kita yang berkondisi, situasi, dan kemampuan sangat beragam. Kemampuan mereka menyediakan sarana pendidikan minimum yang diperlukan juga sangat beragam. Kondisi dan situasi tersebut memaksa mereka melaksanakan proses mengajar-belajar (bukan belajar mengajar) dengan mempergunakan pendekatan beragam. Hasil-hasil proses pendidikan yang mereka lakukan dengan sendirinya pasti beragam, dengan ragam prioritas perhatian yang merupakan buah keterpaksaan dan keleluasaan masing-masing.
Secara jujur dan tulus, logis-fair dan adilkah jika dalam kondisi seperti tersebut mereka harus dinilai dengan pendekatan dan parameter yang seragam? Jika kita menganggapnya sebagai logis, fair, dan adil, maka dapat dengan mudah diduga bahwa bencana dunia pendidikan yang dialami masyarakat Amerika Utara, terutama Michigan tahun 1970-an akan terulang di negeri kita. Kuantifikasi manusia di Amerika Utara saat itu bahkan sempat menekan perasaan para guru yang berakhir pada ancaman mogok mengajar dua tahun atau ramai-ramai pindah profesi (Michael Quin Patton, 1978).
Kita sekarang melihat betapa kompartemen-kompartemen yang paling bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan bukan saja tidak dalam posisi sinergis, namun bahkan saling menegasikan satu sama lain. Diknas tampak berjalan sendiri dengan konsepnya sehingga terkesan hendak memberlakukan secara paksa standarisasi melalui UAN dengan hasilnya sebagai ukuran kelulusan. Para praktisi dan pengelola sekolah di lapangan dengan kondisi nyata yang ada jelas menunjukkan gejala belum siap untuk menjalankan kebijakan pemerintah pusat.
Sistem pendidikan yang telah diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pihak-pihak paling otoritatif di dunia pendidikan kita, baik di tingkat pusat, wilayah (provinsi), kota/kabupaten bahkan masih belum memiliki kesamaan bahasa kebijakan, bahasa strategi, dan tentu akhirnya tidak mampu membangun kesepahaman dan kekompakan operasional. Mereka menunjukkan sikap dan perilaku hubungan intradepartemental yang kurang komunikatif.
Mereka, misalnya tidak menunjukkan adanya tanda-tanda saling memahami tentang input atau masukan sistem pendidikan nasional yang ideal menurut Undang-Undang Sisdiknas dan bagaimana realitasnya di lapangan. Mereka juga belum menunjukkan tanda-tanda bahwa selama ini telah saling mengomunikasikan realitas input atau masukan yang maksimum berhasil dicapai pengadaannya oleh aparat lapangan. Pemerintah pusat misalnya, tidak menunjukkan pemahaman tentang betapa ragam dan lemahnya input sistem pendidikan kita secara nasional menjadikan praktisi dan pengelola pendidikan di lapangan sulit menjalankan kebijakan instruktif pemerintah pusat seperti UAN.
Implikasinya jelas dan sangat serius, yaitu bahwa mereka tidak dapat mengimplementasikan proses penyelenggaraan pendidikan dalam suatu kerangka rumusan dan tindakan yang sistemik. Kesenjangan arah dan orientasi terjadi pada hampir setiap segi dan pada semua tingkatan. Kasus UAN pun menjadi isu pro-kontra yang memilukan dan memalukan. Memilukan dan memalukan oleh karena target pemerintah pusat dengan angka kelulusan 4,26 yang sesungguhnya sangat memprihatinkan, belum tentu akan dapat mencerminkan mutu pendidikan sesungguhnya, tetapi kenyataannya masih membuat para praktisi dan pengelola pendidikan di lapangan kalut dan ketakutan. Ironisnya, perdebatan mengenai hal itu lebih banyak melibatkan pihak internal aparat pendidikan itu sendiri.
Mutu pendidikan kita, memang harus didongkrak dengan suatu sistem penjaminan yang menjanjikan dan dapat diukur pertumbuhannya. Pengukuran memang selalu melibatkan kuantifikasi numerik yang sering membuat kebanyakan ilmuwan sosial terutama pemikir dan filosof pendidikan merasa risi dan kurang nyaman. Besaran hasil pengukuran kuantitatif itu sendiri, di pihak lain, tidak menjamin mencerminkan kondisi mutu yang sesungguhnya. Angka numerik itu, katakanlah batas kelulusan 4,26 juga bukan tidak diperlukan sama sekali. Terjebak ke dalam pro-kontra hebat hingga menyita seluruh headline surat kabar hanya karena batas kelulusan numerik tersebut, namun demikian, dapat menyeret kita ke dalam menyesatkan evaluasi pendidikan. Jika evaluasi itu dimaksudkan untuk menilai mutu kinerja pendidikan kita, bahkan pro-kontra yang menguras energi dan sedikit banyak mengorbankan banyak muka itu menjadi salah alamat dan salah sasaran.
Sasaran yang penting tetapi terlupakan oleh akibat perdebatan sengit pro-kontra UAN adalah sistem penjaminan mutu pendidikan. Adalah absurd atau tidak masuk akal manakala kita sibuk berdebat mengenai mutu pendidikan dan batas kelulusan hasil evaluasi peserta didik, tetapi kita tidak pernah menyisikan perhatian terhadap persoalan sistem penjaminan mutu pendidikan. Absurditas ini saya duga merupakan awal dari praktik bongkar pasang bentuk-bentuk ujian akhir pendidikan kita dari tingkat dasar hingga perguruan tingi.
Dengan demikian bahkan mungkin tidak perlu menyelenggarakan ujian untuk peserta didik yang akan mengakhiri masa pendidikannya seperti SD, SLTP, dan SLTA. Ujian-ujian dapat lebih diarahkan pada segi-segi yang lebih fundamental seperti kecenderungan minat dan spesifikasi bakat calon alumni peserta didik. Hasil ujian seperti ini sangat berguna bukan saja untuk memberikan rekomendasi tentang lanjutan pendidikan yang mana yang sesuai untuk yang bersangkutan, tetapi sekaligus untuk membuat proyeksi futuristik karier para alumni peserta didik.
D. Proses Pembelajaran yang Menyenangkan
Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu1. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya,s ebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.
Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalanga kita sendiri memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membaayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.
Dalam suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah.. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi resiko sedikit demi sedikit3. Sebab dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu.
Komentar negatif selama ini seringkali diterima anak bukan saja di sekolah,melainka juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Pada 1982, seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack canfield melaporkan bahwa hasil penelitian dalam sehari setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung. Jadi,komentar negatif enam kali lebi banyak dari pada komentar positif. Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang dan terbebani ketika misalnay disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai dinding-dinding tempat penjara.
Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas siswa adalah sebagaimana yang Paulo Freire disebut sebagai pendidikan ”gaya bank”. Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya.. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya.
Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap kritis sistemik (Sistemic Critical Attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan yang bergaya bank(banking action) ini.8 Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal (memorization). Bukan memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti siswa telah memenuhi kewajibannya.9 Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali sebagai yang menjadi karakternya selama ini.
Selanjutnya pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut:
- Guru mengajar, murid diajar.
- Guru mengethui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
- Guru berfikir, murid dipikirkan
- Guru bercerita, murid patuh mendengarkan
- Guru menentukan peraturan, murid diatur
- Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya
- Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
- Guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
- Guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
- Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Pengajaran model demikian ini memposisiskan guru sebagai pihak yang ”menang”sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikootomi yang mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menag dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati.
Pengajaran model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut guru yang bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integrative. Pengajaran tersebut mendapat kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan keagamaannya. Guru merasa memiliki wewenang apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa maupun pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu.
Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu saja-karena akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif tersebut-selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.
E. Pembelajaran Demokratis.
Sebagai upaya untuk keluar dari pembelajaran yang membelenggu tersebut menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya Freirw mengatakan,” pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyata secara kritis.” Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yan dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah seihingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus.
Aliran ini sesungguhnya telah berpandangan progresif. Peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdayakan potersi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri.
Oleh karena itu, mesti ada dialog. “ciri aksi budaya yang meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi justru anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat.” tangung jawab guru yang menempatkan diri teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa. Sebab guru sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya dialog ini, maka pemerintah mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut adalah:
Pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban:
- Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
- Mempunyai komitemen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
- Memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan keprcayaan yang diberikan kepadanya.
Seiring dengan demokrasi politik. Ada tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang digantikan oleh peranan siswa yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik.
Oleh karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada siswa-siswanya mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya. Guru tidak banyak mencampuri mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing sikap in cocok dengan kuirkulum ‘student centered”.
Selanjutnya perkembangan paling menarik terjadi sejak 25 tahun terakhir bahwa guru-guru di berbagai sekolah di Amerika melakukan transaksi kurikulum dengan para siswanya. Guru menawarkan berbagai kompetendi pada siswanya, sedang siswa memilih serta menentukan sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasi adalah terjadi kajian dari sesama siswa untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akanmereka pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut sebagai curriculum as transaction and curriculum as inquiry.
Kasus ini benar-benar menggambarkan pembelajaran demokratis lantaran melibatkan siswa dalam menentukan sendiri kompetensi maupun bahan pelajaran sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka sendiri tanpa paksaan maupun intervensi guru. Keterlibatan siswa seperti ini makin mendesak untuk direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru yang benar-benar professional.
DAFTAR PUSTAKA
Bobbi Deporter dan Mieke Hernachi, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, (Bandung: Kaifa, 2002).
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
Donald P. Kauchos and Paul D. Eggen, Learning And Teaching Research Basid Methods,(Baston: Allya And Baron, 1998).
H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000).
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),(Jakarta: Bumi Aksara, 1991).
Mska Masstlon, Tracking from Command to Discovery, (California; Wadsworth Publishing Company, 1972).
Paulo Freire, Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead, 2002).
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. (Ttp: Pustaka Widyatama).
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999).